13 Agustus 2014, 10.53 am
You're the one I love , you're
the one I need!
You're the only one I see!
Come on, baby, it's you!
Astaga, sejak kapan handphoneku berbunyi sekencang
ini? Dengan kikuk kuraih handphoneku dan memeriksa siapa pengirim sms
yang telah membuat seisi divisi menoleh ke arahku. Semoga saja bukan sms dari
sang operator dengan segala penawaran menyesatkannya.
Baru saja kubaca kilasan sms itu, aku sudah tahu kalau
tebakanku salah. Begitu kubaca isinya, apa yang ada didalamnya membuatku nyaris
berteriak kegirangan dan menari dalam larut euforia: permohonan visa turis ke
Inggris yang kuajukan beberapa waktu lalu akhirnya diapproved. Impianku
terkabul, akhirnya.
Dari dulu aku sudah memimpikan jika aku dapat peluang
untuk pergi ke luar negeri, negara pertama yang kukunjungi haruslah Inggris.
Mengapa? Sederhana saja: it just clicks with me. Entahlah, namun negara
itu dengan segala halnya telah mencuri hatiku sejak entah kapan. Aku selalu
membayangkan menghabiskan waktu disana, berjalan-jalan di tengah hiruk-pikuknya
London sambil menikmati suasana musim gugur yang beranjak muncul menggantikan
musim panas, mengamati gaya fashion mereka yang hampir selalu menjadi
kiblat fashion dunia, mengunjungi beberapa kota dan situs bersejarah,
dan banyak hal lain yang selama ini hanya bisa kunikmati lewat tabung kaca dan
gulungan kertas berjilid.
Dan sekarang, peluang itu telah menampakkan dirinya dalam
bentuk sebuah sms yang singkat. Sebuah peluang yang takkan kusia-siakan. Dengan
penuh semangat kuurus izin cutiku dan kubook tiket untuk perjalanan
pulang-pergi ke Inggris akhir bulan ini sore itu juga.
29 Agustus 2014, 09.00 am
Well, here I am right now sitting right next to
the fountain on trafalgar square in London with my pocket camera and a note
book on my hand seeing people doing their own activities around me. This place
is so amazing. Its beautiful, clean, and I could see pigeons roaming freely. Aku sempat mengelilingi taman
ini sebelum akhirnya memilih untuk duduk, mengamati bagaimana warga disana saling
berinteraksi satu sama lain dan mengabadikannya kedalam kumpulan foto dan
catatanku.
Ditengah keasyikanku, tiba-tiba aku merasakan ada tepukan
halus di bahu kiriku. I froze for a few seconds. I don't know anyone in this
place. Did I do something wrong? God, hopefully not...
Belum selesai aku larut dalam khayal panikku, apa yang
kulihat saat kulihat siapa yang menepukku membuatku terpaku. Tepat dihadapanku
berdiri seorang pria berwajah khas eropa yang klasik, seperti gambaran
bangsawan di film series yang sering aku lihat di cable TV, berambut hitam, bermata biru, menatapku dengan pandangan I-can't-believe-I-found-you-here-but-hey-I'm-happy.
Dan aku hanya bisa terdiam. Bingung.
"Hey,
can't believe I meet you here. Do you remember me?" dia langsung menjabat
tanganku sambil senyum setengah tertawa. Sebuah ekspresi yang akan bisa membuat
siapa pun jatuh cinta seketika.
"Actually,
no. Have we met before?" Ya, dengan sedikit terpaksa harus meladeni
seorang bule super charming dengan bahasa Inggrisku yang kurasa
bahkan kalah mahir dibandingkan anak kecil.
"Oh, I see you don't remember me."
Sedikit raut kecewa tergambar di wajah tampannya. Tapi tidak, aku tidak ingat
sama sekali pernah bertemu dengan pria setampan dirinya.
"We've met before. In Thailand. 2 April 2013,
at Sleeping Budha Temple near The Grand Palace." sambungnya. Aku
semakin bingung. Ya, aku pernah kesana, tapi tidak ingat pernah bertemu dengan
bule seganteng ini.
"Ya, I went to that
temple. But sorry I still not remember you." Sepertinya jujur akan
lebih baik bagiku untuk menghadapi hal semacam ini.
"It's ok. My fault. Maybe
I've scared you but I have an Eidetic memory. I won't forget everyone I've met.
I won't forget everything. I knew its sound creepy but when I saw you sitting
here, I couldn't help to greet you and
have a little chat with you." Jelasnya panjang lebar.
Aku pernah membaca artikel
ringkas mengenai eidetic memory. Kemampuan langka yang membuat orang
mampu mengingat apapun yang ia lihat, baca, dan dengar dengan tingkat akurasi yang
mencengangkan.
"Have
we talk before?" Aku memang tidak punya kemampuan eidetic memory, tapi
biasanya aku tidak pernah lupa dengan orang yang pernah berbincang-bincang
denganku.
Dia
menggelengkan kepalanya. "No. I talked to your mom, and the old lady, your
mom's friend, the one who can speak French"
"Tante
Ria." gumamku pelan.
"Yeah,
Mrs Ria. She use a yellow shirt and white hat." Dia bahkan bisa ingat
warna topi yang dipakai tante Ria, sahabat mamaku yang saat itu tur bersama
keluargaku.
"You
are the English teacher, from France, and has been living in Indonesia for
years?" Akhirnya satu persatu kepingan puzzle ingatanku mulai
membentuk gambaran jelas mengenai sosok rupawan dihadapanku ini.
"Yes,
Oh thank God, finally you remember me. You never mention your name, so I don't
know your name. My name's Pierre, Pierre Dubois" dia mengulurkan
menjabat tanganku erat sambil tertawa lebar. Entah kenapa wajahnya terlihat
senang sekali. Nama pria ini benar-benar mencerminkan asal negaranya, dan cukup
sulit untuk dilafalkan.
"I
don't remember your face. I just remember that my mom and her friend talk with
an English teacher. My name's Naya. Nice to meet you again."
Sepertinya pria tampan bernama Pierre ini dapat kupercaya. Toh saat ini aku
hanya sendiri di sini. Akan lebih baik jika ada teman untuk mengobrol.
Dia
tersenyum. Senyuman yang mampu membuatku menahan napas karena terpesona. “I’m
really happy to meet you here. How long you’ve been here?”
“..... This is my second day.” Kataku setelah
berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari pesona matanya yang begitu fokus
namun lembut menatapku. “You stayed in Indonesia for years, can you speak
Bahasa?”
“Hmm..
Ya, aku bisa, tapi tidak terlalu bagus. Karena aku kerja di international
school, jadi jarang bicara bahasa indonesia.” Cara Pierre bicara dalam bahasa
indonesia mampu membuatku tersenyum. Terpatah-patah dan kaku, lengkap dengan
dialek french-englishnya. “Hei, jangan ketawa. Aku ini berusaha.” Katanya
sambil pura-pura memasang mimik kesal, yang membuatku semakin ingin tertawa
melihatnya. “Berapa lama kamu tinggal di London?”
“Rencananya
aku tinggal di Inggris 10 hari, ga hanya di London sih, aku berencana
berkeliling. Aku mau lihat-lihat menjelajah disini. Banyak sekali tempat yang
ingin aku kunjungi disini.” Kataku sambil membuka halaman-halaman dalam note
book yang ada di tanganku. Disana tertulis tempat-tempat yang sangat ingin aku
kunjungi. Seperti Gereja Westmister Abbey, Abbey Road, Baker Street, London
Eye, dan masih banyak lagi. “Kamu tinggal di London? Atau sedang berkunjung ke
sini?”
“No. Rumahku di Paris. Aku biasa kalau
sedang pulang ke France, suka juga
berkunjung ke Inggris, ada rumah cousin
ehm maksudku sepupu disini. Ibu asalnya dari Inggris. Jadi banyak family disini.” Informasi yang Pierre
berikan menjelaskan dialeknya yang unik, cara dia menyebutkan kata seperti
orang Perancis namun dialeknya sedikit terdengar British ditelingaku. “Kamu
sendirian atau ikut tour?”
“Aku
sendiri. Berencana menjelajah sendiri saja. Menurut beberapa artikel yang
kubaca, cukup mudah mejelajah tempat wisata di Inggris.” Aku sudah membeli peta
Inggris lengkap dengan artikel-artikel tempat yang ingin aku kunjungi.
“Bagaimana
jika aku menawarkan diri menjadi tour guide kamu. I know this country very well. At least I knew popular spot here. I
promise you that we won’t get lost. And my fee is free” Ia tersenyum manis,
senyum yang mampu membuatku tak bisa berkata ‘tidak’. Tawaran Pierre terdengar
menarik. Aku benar-benar buta akan lokasi-lokasi wisata yang ingin aku
kunjungi. Aku memang bisa menggunakan bus dan kereta yang sangat nyaman disini,
namun alangkah asiknya jika ada teman seperjalanan, teman berbincang, teman
untuk berbagi tawa. Namun disatu sisi, aku baru saja bertemu dengan pria ini.
Pria ini asing. Meski ini bukan pertama kali aku berjumpa dengannya. Namun
pesona pria ini begitu memikat. Jika aku berkata ‘tidak’ padanya, aku mungkin
tak akan bertemu dengannya lagi. Tak bisa menikmati indahnya paras yang Tuhan
ciptakan untuknya, tak bisa mendengar lembut dan dalam suaranya, keindahan yang
terpancar dari sorot matanya, senyumnya yang mampu membuat sekelompok kepompong
di perutku bertransformasi seketika menjadi kupu-kupu dan beterbangan dengan
riangnya, memberikan sensasi gelitik menyenangkan dan mendebarkan.
"Bagaimana?
Kamu mau?" Suara Pierre mengembalikan kesadaranku.
"Ehm,
kamu janji tidak akan membuatku tersesat? Kamu bisa bawa aku ke tempat-tempat
yang aku mau?"Aku butuh diyakinkan. Aku harus yakin kalau aku akan aman
bersamanya.
"Swear to God. I'm gonna take you where ever
you want. Maybe I'll take you somewhere you don't know but I promise you that
place is wonderful. Hey, This in England. Every places are wonderful."
Dia tersenyum sambil berusaha meyakinkanku. Tangannya menyentuh halus tanganku.
Tak ada kesan tidak sopan pada sentuhannya. Hanya sebuah sentuhan yang mampu
membuatku memutuskan aku akan menerima ajakannya.
“Ok, let’s try for a couple days. If you
didn’t make me happy, or you make us lost to place that not good enough. We
stop.” Aku berusaha agar tak terlihat over excited. Aku tak ingin Pierre
tahu bahwa aku senang sekali dan tak sabar ingin segera menjelajah negeri
impianku ini bersamanya.
“Great.
Aku jemput kamu jam 9 di hotel. Kamu bermalam dimana?” Dia tersenyum lebar. Ada
kepuasan terpancar dari sorot matanya.
“Hotel
43.” Jawabku singkat.
“I know
that place. I have to go now. Aku ada janji mau makan siang dengan ehmm tante
aku. Besok pagi jam 9 aku jemput kamu. Boleh minta email or nomor telpon kamu?”
Aku menuliskan email dan nomor telponku di selembar sobekan kertas dari buku
noteku dan aku berikan padanya. “This is my card.” Pierre memberikan kartu nama
padaku. “I’ll call you tonight.” Dia menyentuh lembut pipiku sebelum
mengucapkan salam perpisahan dan beranjak pergi meninggalkanku yang terdiam
oleh sikapnya.
Kucubit
lenganku. Sakit. Aku tidak bermimpi, ini nyata. Tak kusangka di tempat impianku
inilah aku bertemu dengan seorang Pierre yang pesonanya meluluhkan hatiku.
“Sepertinya
mulai besok tak kubutuhkan lagi jadwalku,” gumamku dengan penuh senyum sambil
beranjak dan melangkah kembali menuju hotel, menyambut esok yang penuh kejutan.